Tuesday, August 12, 2014

Festa del Majo


Pagi hari di depan Piazza San Giustino Chieti, tampak serombongan orang berpakaian tradisional Abruzzo yang dihias dengan bunga-bunga cantik. Mereka adalah peserta parade Festa del Majo yang dilaksanakan pada tanggal 1 Mei. Festival ini adalah parade terakhir di musim semi, untuk menyambut kedatangan Bulan Mei yang dianggap sebagai awal musim panas dan pertanda bahwa waktunya petani mulai bekerja.



Pada abad pertengahan, sudah menjadi tradisi masyarakat Eropa berpesta menyambut kedatangan bulan Mei. Para pemuda di pedesaan mengumpulkan bunga-bunga liar dan ranting pohon akasia. Kemudian mereka bernyanyi dan menari di depan jendela rumah wanita pujaannya, lalu menanam ranting tersebut di depan rumah sang gadis. Ada juga yang meletakkan hadiah kecil, seperti saputangan, di ranting tersebut. Para petani pun bersuka ria, karena mereka akan kembali ke kebun. Sayangnya tradisi ini terhenti pada saat perang dunia pertama.

Festa del Majo kembali dilaksanakan di Chieti Italia sejak tujuh tahun yang lalu. Chieti adalah salah satu Ibu kota Propinsi di region Abruzzo. Sebuah traktor berhias bunga-bunga berada di barisan paling depan. Kendaraan pertanian ini menggeret sebuah gerobak yang diatasnya terdapat sebuah boneka yang melambangkan “Majo” dan seorang pemuda bertopi kerucut tinggi. Dulunya topi kerucut ini dibuat dari bingkai tebu yang ditutupi dengan jerami dan bunga-bunga.
Pemuda bertopi kerucut tinggi

Arak-arakan di depan San Giustino

Traktor sebagai penghulu barisan

Festival ini dimeriahkan oleh group musik tradisional Abruzzo. Lima orang lelaki mengiringi lagu dan tarian dengan accordeon, tamborin, dan sebuah alat musik besar berbentuk tabung kayu, yang menghasilkan suara seperti terompet besar. Parade ini dimulai dari depan gereja San Giustino, melewati jalanan di pusat kota tua Chieti, dan berakhir di Villa Communale, taman kota Chieti.
Salah satu alat Musik Tradisional Abruzzo
Lagu “Nyanyian Duabelas Bulan” (Canti Dodici Messi) dinyanyikan di depan Palazzo del Mayo. Lagu ini menggambarkan karakteristik setiap bulan dalam setahun, dan kaitannya dengan aktivitas para petani di setiap bulan tersebut. Acara dilanjutkan dengan tarian “Il Ballo del Palo”. Tarian ini menggambarkan perjalanan sebatang pohon dalam setahun, bertunas, berbunga, kemudian gugur kembali daunnya. Tari ini dimainkan oleh beberapa pasang penari yang mengelilingi sebuah tiang berpita di tengah. Dengan lihainya mereka menari sambil menganyam pita yang berwarna-warni tersebut.




Video Tarian Il Ballo del Palo

Perayaan berlanjut dengan tarian Saltarelle hingga masuk waktu waktu makan siang . Pengunjung dapat mencicipi hidangan kuno " lessagne " khas dari Teramo . Upacara diakhiri dengan pembakaran patung Majo.


Alberobello

Trulli di Rione Monti
Trullo (Jamak:Trulli) adalah rumah tradisional dari Region Puglia, Italia bagian selatan. Ciri khas rumah ini adalah berbentuk persegi, beratap kerucut, yang terbuat dari susunan batu.Dindingnya yang sangat tebal membuat temperatur di dalam ruangan relatif tetap, hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas. Trullo umumnya dapat ditemukan tersebar di kebun-kebun zaitun dan anggur yang terhampar luas di Puglia.
Trullo yang belum di pugar

Suasana di dalam Trullo yang berusia 500 tahun

Di kota Alberobello, terdapat sekitar 1.500 trulli yang letaknya terlokalisasi. kawasan ini masuk ke dalam daftar situs warisan dunia Unesco karena keunikannya.



Awalnya Alberobello adalah area hutan (Albero=pohon bello=cantik/indah). Seorang penguasa lahan memindahkan pekerjanya ke Alberobello untuk merambah hutan dan menjadikannya perkebunan.Para pekerja harus tinggal di trulli untuk menghindari pajak. Menurut peraturan saat itu, trulli tidak dianggap sebagai pemukiman permanen karena dibangun tanpa menggunakan semen. JIka sewaktu-waktu ada pemeriksaan, maka rumah-rumah ini dengan sangat mudah dihancurkan.

Saat ini trulli kebanyakan sudah dipugar dan berubah menjadi hotel, cafe, toko, atau tempat tinggal. Uniknya seluruh trulli di Alberobello dicat dengan warna putih.





Kami mengunjungi Alberobello pada tanggal 2 Agustus 2014. Dari Stasiun Bari Centrale, kami menaiki kereta FSE(FErrovie Sud-Est) dengan tujuan akhir Martina Franca, harga tiket sekitar 4 euro sekali jalan. Waktu perjalaan dari kereta sekitar 1 jam, hingga sampai di stasiun Alberobello. Hamparan kebun zaitun dan anggur di sepanjang jalan membuat waktu 1 jam terasa singkat. Dari stasiun, satu-satunya cara menuju kawasan trulli adalah dengan berjalan kaki sekitar 25 menit. Cukup jauh, namun petunjuk jalannya cukup mudah untuk diikuti.
Aia Picola

Rione Monti

Area Trulli terbagi dua yaitu Rione Monti dan Aia Picola. Rione monti adalah kawasan turistik yang ramai dikunjungi wisatawan, serta dipenuhi oleh toko-toko suvenir dan cafe. Sedangkan kawasan Aia picola, adalah kawasan perumahan yang relatif tenang dan sepi.Tidak jauh dari area Aia Picola, terdaapat view point (belvedere), untuk mengambil foto trulli dari ketinggian.

Pemandangan dari belvedere

Thursday, August 7, 2014

Matera

Matera

Kota ini terletak di region Basilicata, Italia. Matera terkenal dengan "sassi"nya, yaitu rumah-rumah gua yang dibangun di lereng bukit berbatu dan ditinggali sejak 7000 tahun yang lalu. Warga penghuni rumah gua ini hidup rukun dan tolong-menolong dengan tetangganya. Seiring berjalannya waktu teknologinya semakin maju. Mereka mempunyai satu tempat penampungan air bawah tanah (cistern) sebagai sumber air bersama, dan satu tempat penyimpanan salju bawah tanah, untuk digunakan di musim panas yang sangat terik. Selain itu mereka juga membangun satu gereja, dan aula (terbuat dari gua alami) untuk tempat bersosialisasi bagi warga.
 
Cistern

Gereja

Pada 1950-an akibat kondisi ekonomi yang buruk, warga yang tinggal di rumah-rumah gua ini adalah orang-orang miskin. mereka tinggal di dalam gua berukuran sekitar 16m persegi, dengan satu pintu dan jendela kecil untuk jalan keluar masuk udara. Di dalam gua tak bersekat itu, tinggal satu keluarga, dengan jumlah anak yang banyak dan juga binatang ternak (kuda, ayam, babi dsb.). Di dalam rumah tersebut juga tidak ada fasilitas MCK, hanya ada sebuah tong kecil di samping tempat tidur sebagai pengganti WC. Kondisi rumah yang tidak sehat menyebabkan angka kematian anak hingga 50%. Pada tahun 50-an juga terjadi wabah malaria di Matera. Akibatnya pemerintah memindahkan sekitar 50ribu penduduk ke tempat yang lebih layak, dan kawasan tersebut terlupakan hingga awal 90-an.
 
Rumah gua

Jendela

wc

Saat ini Sassi Matera dijadikan salah satu tempat yang masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO. Pariwisata di kota ini mulai dikembangkan, dan misinya adalah Matera menjadi kota pusat budaya Eropa pada tahun 2019. Rumah-rumah gua tersebut sekarang sebagian besar sudah dipugar, berubah fungsi menjadi hotel, cafe dan tempat tinggal. Tapi masih ada juga sebagian rumah yang ditinggalkan kosong tak berpenghuni.

Kami berkunjung ke Matera pada tanggal 1 Agustus 2014. Kami memilih bari sebagai tempat menginap karena relatif dekat dengan Matera dan harga hotel di Bari lebih murah. Hotel-hotel di Matera memang lebih mahal, namun mereka menawarkan keunikan pengalaman bermalam di rumah-rumah gua yang sudah disulap menjadi hotel.

Kami menggunakan kereta FAL dari Bari tujuan Matera Sud. Waktu perjalanan sekitar 1,5 jam. Namun, selama perjalanan penumpang harus waspada dengan pengumuman dari crew kereta api, karena bisa saja kita harus pindah gerbong atau pindah kereta di stasiun tertentu. Bagi penumpang yang tidak biasa menempuh rute ini memang akan cukup membingungkan, apalagi pengumumannya juga dalam bahasa Italia. Tipsnya adalah sering-seringlah bertanya agar tidak terbawa ke tujuan yang salah. Jangan lupa menikmati pemandangan dari kereta, karena rute  yang dilalui membelah kebun zaitun hampir di sepanjang perjalanan.

Sesampai di Matera Centrale, kami mendatangi kantor informasi wisata yang terletak di sebelah stasiun. Di kantor ini kami mendapatkan sedikit penjelasan dan peta Matera dengan Cuma-Cuma. Namun, jika yang didatangi adalah kantor agen pemandu wisata (yang tidak jauh dari stasiun juga), maka kita akan ditawari paket wisata dengan pemandu, atau peta Matera dengan harga 2 euro. Dari stasiun kami berjalan sekitar 10 menit menuju ke komplek Sassi Maera dengan mengikuti papan petunjuk arah berwarna coklat yang bertuliskan “I sassi”

Di dalam komplek Sassi, kita dapat mengeksplorasi dengan mengikuti tiga jalur wisata yang ada di peta, jalur oranye, kuning dan merah. Kami memilih jalur oranye dan kuning karena jalur tersebut melewati hampir semua view point untuk mengambil gambar dengan landscape yang bagus. Walaupun berbekal peta, tapi kami tetap saja nyasar dan berputar-putar naik turun tangga hehe.. Selagi masih ada tenaga dan waktu, sebenarnya nyasar di komplek sassi itu menyenangkan. Karena, kita bisa “blusukan” sambil menikmati pemandangan yang unik di setiap sudutnya.

Objek yang menarik untuk dimasuki adalah Cistern dan Casa Grota. Tiket masuknya masing-masing adalah 3 dan 2 euro untuk orang dewasa. Di dalam Cistern kita bisa melihat dan mendapat penjelasan tentang teknologi penyimpanan dan penyaluran air zaman dulu yang digunakan penduduk sassi. Sedangkan di Casa Grota, sebuah rumah gua yang interiornya diisi sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat I sassi pada tahun 50-an. Dengan begitu kita lebih bisa membayangkan keseharian mereka hidup di rumah gua tersebut.


Bagi saya pemandangan yang paling berkesan adalah bukit-bukit berbatu, dengan lembah yang mengalir sungai kecil di dasarnya. HIngga saat meninggalkan Matera pun saya tidak bosan-bosan memandangnya. Keindahannya tidak dapat dilukikskan bahkan lewat foto. MasyaAllah…